Setelah bertahun-tahun berkutat dengan cedera, Dani Pedrosa akhirnya sudah menuntaskan masalah fisiknya di awal 2015 dan menjadi salah satu pembalap paling bersinar akhir musim itu, meskipun sudah terlambat untuk meraih trofi.
Dengan tinggi hanya 1,58 meter dan berat 55 kg, Pedrosa adalah pembalap terkecil di MotoGP.
Kemungilan tubuhnya memberi keuntungan saat dia masih berlaga di kelas ringan, namun berbalik menjadi penghambat utamanya saat dia naik ke kategori MotoGP, dengan motor paling berat.
Tahun ini tepat satu dekade dia berada di kelas premier, dan tak pernah dia membela tim selain Repsol Honda.
Namun tak pernah juga pembalap 30 tahun itu melewati satu musim pun tanpa cedera atau rasa nyeri atau keduanya di kelas paling bergengsi ini.
Yang perlu dicatat, mulai tahun ini Pedrosa secara fisik akan lebih kuat dari sebelumnya, setelah dia menjalani operasi syaraf lengan untuk membuang gejala arm pump yang kerap diderita para pembalap sepeda motor.
Pengorbanannya cukup besar, dengan absen di tiga seri (Austin, Argentina dan Jerez) demi operasi. Setelah itu, dia pun mampu meningkatkan volume dan intensitas latihan fisik.
Dalam operasi tersebut, jaringan fascia yang melapisi otot lengannya dibuang.
Balapan perdana setelah itu adalah Le Mans, yang tidak terlalu memuaskan. Namun berikutnya, dia adalah pembalap yang berbeda.
Setelah operasi berjalan sukses, Pedrosa mengikuti terapi fisik di Salo Darder Institute, Barcelona. Dia menjalani perawatan menggunakan mesin yang disebut PHYSIUM System.
"(Mesin) ini memobilisasi bekas luka dan adesi pasa-operasi dengan cara yang terukur, untuk menghasilkan fleksibilitas yang lebih besar sehingga bisa memperbaiki tekanan fascia pada sistem neurovascular (syaraf pembuluh darah) dan muscular (otot), mengurangi rasa nyeri dan radang pasien," kata Jordi Saló, penemu alat tersebut.
Sebelum mengikuti terapi, otot Pedrosa mengalami pembengkaan dan jaringan bekas luka mengerut, sehingga memerangkap syaraf dia sekitarnya, khususnya dalam kondisi stres atau kelelahan.
Semua itu membuat ototnya kehilangan sensitivitas dan makin memburuk di setiap putaran yang dia lakukan, hingga nyaris tak tertahankan pada akhir balapan.
Pada akhir musim 2015, banyak orang melihat ada perubahan dalam cara membalap Pedrosa. Di Aragon, dia jauh lebih agresif daripada sebelumnya, saat bertarung satu lawan satu melawan Valentino Rossi. Dalam empat grand prix terakhir, dia menang dua kali (Jepang dan Malaysia).
Pada balapan terakhir di Valencia, dia bisa memangkas jarak dua detik hanya dalam enam putaran dari pemimpin lomba Jorge Lorenzo.
"Ada peningkatan nyata, karena sebelumnya saya mengalami kendala fisik yang dengan demikian juga mengganggu secara mental. Saat terbebas dari itu, Anda bisa merasakannya," kata Pedrosa.
"Bukan hanya Anda bisa bereaksi lebih baik di atas motor, namun Anda juga bisa tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya."
Pedrosa mengatakan dia harus menjalani terapi karena tubuhnya sudah terbiasa dengan kondisi fisik yang penuh kendala sebelum ini.
"Kelihatannya memang aneh, namun tubuh punya memori. Jika ada area yang merasakan nyeri dalam waktu yang lama, tubuhnya seperti tak tahu kalau sebetunya sudah sembuh, jadi Anda perlu melatihnya," jelasnya.
"Ini harus dilakukan secara progresif dan bertahap," ujarnya, sembari menambahkan sebelum terapi dia nyaris tak bisa tidur karena nyeri.
Jadi, musim ini akan menjadi pembuktian Pedrosa yang baru, lebih agresif, reaktif dan tanpa nyeri.